LAPORAN OBSERVASI
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Gunung Kawi,terdengar dari nama nya
orang pasti sudah mengartikan dengan pesugihan atau mitos mitos klenik lain
nya. Gunung Kawi terletak di kabupaten malang,berada di ketinggian 2860m dari
permukaan laut. gunung Kawi masih merupakan tempat kunjungan wisata favorit
yang sampai saat ini masih banyak di kunjungi wisatawan dari berbagai daerah.
Banyak orang yang datang kesini untuk melakukan ziarah ke makam Eyang Djugo dan
makam Eyang RM Iman Soedjono. Kedua makam tersebut adalah makam yang
istimewa,makam dua orang yang di anggap mempunyai kelebihan. ini terbukti dari
banyak nya pengunjung dan peziarah yang datang untuk berziarah di sini.
Terlebih pada hari hari tertentu seperti malam jum’at legi banyak peziarah yang
datang berduyun duyun ke sini. Tidak hanya dari wilayah Malang ataupun Jawa
Timur saja,tetapi juga dari berbagai daerah di nusantara. Pengunjung dari etnis
tionghoa yang menganut salah satu agama tertentu,mempunyai pendapat lain
tentang makam Eyang Djugo dan makam RM Iman soedjono. Mereka menganggap dua
makam tersebut adalah makam tokoh kharismatik yang hidup dengan penuh cinta
kasih,welas asih dan mampu memberikan kedamaian.
Kuliah metode penelitian mengharuskan
saya untuk melakukan penelitian sebagai ujian akhir semester. Saya dan
teman-teman bersama Bu Dosen sepakat untuk mengadakan penelitian di “Gunung
Kawi”Sepulang dari penelitian tersebut terus terang saya kebingunggan untuk
memilih judul dan tema yang pas untuk dijadikan judul penelitian saya.ada satu
hal yang membuat saya tertarik saat berada di sana saya tertarik dengan salah
satu ritual yang disebut “slametan”banyak orang sedang berdiri di loket yang
tersedia dan saya bingung apa yg mereka lakukan….
Atas dasar keingintahuan saya tersebut saya
berusaha untuk mencoba memahami secara lebih mendalam tentang makna slametan sebagai nazar,dengan
mengobservasi tentang upacara di Gunung Kawi.karena dalam upacara digunung kawi ternyata ada
upacara slametan yang memang telah dijadikan sebagai nazar bagi orang-orang
yang datang berkunjung ke Gunung Kawi.Oleh karena itulah diperlukan adanya observasi ini untuk
mengetahui secara jelas bagaimana manfaat dari slametan yang dilakukan.
B.RUMUSAN MASALAH
Atas dasar
uraian diatas dapat dibuat rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa
sebenarnya yang menjadi tujuan seseorang datang ke gunung kawi?
2. Apa yang
dimaksud dengan slametan?
3. Mengapa dalam
mengolah makanan yang dijadikan slametan masih
bersifat tradisional sedangkan jaman
terlihat sangat modern?
4. Apa manfaat
yang didapat setelah mengadakan slametan tersebut?
C.TUJUAN
Observasi ini bertujuan untuk menjelaskan makna selametan di Gunung
Kawi sesunggunya kepada masyarakat.agar
tidak terjadi kesalapahaman terhadap makna selametan itu sendiri.
D.MANFAAT
Secara teoritis observasi ini diharapkan mampuh menjadi suatu pandangan
yang baik dalam kebudayaan masyarakat jawa.selain itu mampu menjadi jawaban
atas pandangan orang lain terhadap Gunung Kawi dan Ritual selametannya.
Namun secara praktisnya lagi,observasi ini bertujuan untuk
memperkenalkan suatu pengertian tentang slametan dalam kebudayaan Jawa terhadap
kebudayaan luar.
E.METODE
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan tersebut
dilakukan dengan metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Wawancara itu
bersifat tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara yang berkembang
sesuai kebutuhan di lapangan. Pengamatan yang dilakukan bersifat
non-partisipatif. Dokumentasi didapatkan dari literatur tertulis dan di
internet
F.WAKTU PELAKSAAN
Hari : Kamis
Tanggal :
24 Mei 2012
Waktu :
18.00 s/d selesai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tradisi ritual tersebut kadang-kadang
memang kurang masuk akal. Namun demikian, bagi pendukung budaya yang
bersangkutan yang dipentingkan adalah sikap dasar spiritual yang berbau emosi
religi, bukan logika. Karena itu, dalam tradisi ritual biasanya terdapat
selamatan berupa sesaji sebagai bentuk persembahan atau pengorbanan kepada zat
halus tadi yang kadang-kadang sulit diterima nalar. Hal ini semua sebagai
perwujudan bakti makhluk kepada kekuatan supranatural.
Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut
Robertson Smith (Kcentjaraningrat, 1990:68) memiliki fungsi sebagai aktivitas
untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai
komunitas istimewa. Hal juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan
kepercayaan adalah ritus atau upacara.
Menurutnya, upacara religi akan bersifat kosong, tak
bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal
rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal
yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tertinggi yang menurutnya
tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses
pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup
dan maut.
Yang perlu ditekankan dalam kajian religi, menurut
Geertz (2001:395-410) bahwa kajian budaya, bukanlah “sebuah sains eksperimental
yang mencari suatu kaidah, tetapi sebuah sains interpretatif yang mencari
makna”. Makna harus dicari dalam fenomena budaya. Keyakinan terhadap makna ini,
didasarkan pada kondisi hidup manusia, yang menurut Parsons dan Weber selalu
berada pada tiga tingkatan: (1) kepribadian individual, yang dibentuk dan
diatur oleh, (2) suatu sistem sosial, yang pada akhirnya dibentuk dan dikontrol
oleh, (3) suatu “sistem budaya” yang terpisah. Tingkatan (3) ini yang merupakan
jaringan kompleks dari simbol, nilai, dan kepercayaan, berinteraksi dengan
individu dan masyarakat.
Menurut Stewart (Beatty, 1999:4) dalam membahas
religi, perlu membicarakan keterkaitan antara keberagaman tradisi, kemajemukan,
dan perbedaan budaya. Tradisi tertentu – mistik, Islam, lokal – yang mengalami
hibridasi akan masuk ke dalam wacana ritual dan religi. Jika di dalamnya
terdapat sinkretisme, maka yang terjadi adalah sebuah proses dinamik dan
berulang, suatu faktor yang konstan dalam reproduksi kebudayaan, dan bukan
hasil yang statis. Pendek kata, sinkretisme merupakan konsep yang mengarah pada
“isu akomodasi, kontes, kelayakan, indigenisasi, dan wadah bagi proses antar
budaya yang dinamik”.
Tegasnya dalam kajian budaya religi, peneliti akan
memahami religi bukan semata-mata agama, melainkan sebagai fenomena kultural.
Religi adalah wajah kultural suatu bangsa yang unik. Religi adalah dasar
keyakinan, sehingga aspek kulturalnya sering mengapung di atasnya. Hal ini
merepresentasikan bahwa religi adalah fenomena budaya universal. Religi adalah
bagian budaya yang bersifat khas. Budaya dan religi memang sering berbeda dalam
praktek dan penerapan keyakinan. Namun demikian keduanya sering banyak titik
temu yang menarik diperbincangkan.
Dalam pandangan Geertz (2000:170) religi adalah sebuah
pengalaman unik yang bermakna, memuat identitas diri, dan kekuatan tertentu.
Sebagai sebuah pengalaman, tentu saja religi tak akan lebih dari subyektivitas
pelakunya. Dengan kata lain, religi akan berhubungan dengan rasa, tindakan,
dan pengalaman nyata yang berbedabeda satu dengan yang lain. Setiap orang
memiliki perasaan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalankan religi
masing-masing. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya religi sering dipengaruhi
oleh hal ihwal di luar dirinya. Aktivitas politik, modernisasi, gender, dan
perubahan dunia amat berpengaruh terhadap fenomena religi. Itulah sebabnya,
kajian religi boleh sangat luas dan melebar sesuai keperluan.
Berangkat dari teori ini
saya ingin menjelaskan tentang kebudayaan ang ada di peradaban pulau jawa
mengenai slametan selain itu saya juga ingin melihat dari pandangan religious
karena saya melihat “slametan” disini merupakan kepercayaan yang timbul dari
diri seseorang.
A.SLAMETAN
Tradisi slametan berakar dari budaya
asli Jawa (animisme dan dinamisme) dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya
oleh budaya Hindu Budha. Masuknya Islam di Jawa menggunakan pola “damai” dengan
persuasi sehingga masih terdapat simbol-simbol budaya masa lalu
(animisme-dinamis, Hindu-Budha yang masih menjadi “pola” pikir dan paradigma
masyarakat Jawa.
Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno, kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek-moyang yang pada saat Islam datang ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri manusia.
Slametan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk keluarga yang menyelenggarakan sebuah upacara.kegiatan slametan sepertinya sudah menjadi tradisi hampir disetiap penjuruh jawa.ada bahkan yang mempercayai bahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar maka akan mendapat ketidakberkahan dan kecelakaan (semua sumber)
Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno, kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek-moyang yang pada saat Islam datang ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri manusia.
Slametan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk keluarga yang menyelenggarakan sebuah upacara.kegiatan slametan sepertinya sudah menjadi tradisi hampir disetiap penjuruh jawa.ada bahkan yang mempercayai bahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar maka akan mendapat ketidakberkahan dan kecelakaan (semua sumber)
Slametan
dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga bisa nampak ketika
mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan
calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni
(slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan
(lepas pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai
praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut
Pamberton praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji)
tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan
dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata
lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh
setempat.
JENIS-JENIS SLAMETAN
1.
Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang. Jenis selamatan ini meliputi :
hamil tujuh bulan, kelahiran, potong rambut pertama, menyentuh tanah untuk
pertama kali, menusuk telinga, sunat, kematian, peringatan serta saat-saat
kematian.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa. Jenis selamatan ini meliputi
upacara sebelum penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.
3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.
4. Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa khusus. Jenis selamatan ini meliputi :
perjalanan jauh, menempati rumah baru,menolak bahaya (ngruwat).
hamil tujuh bulan, kelahiran, potong rambut pertama, menyentuh tanah untuk
pertama kali, menusuk telinga, sunat, kematian, peringatan serta saat-saat
kematian.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa. Jenis selamatan ini meliputi
upacara sebelum penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.
3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.
4. Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa khusus. Jenis selamatan ini meliputi :
perjalanan jauh, menempati rumah baru,menolak bahaya (ngruwat).
B.NAZAR
Nazar ialah janji manusia kepada Allah SWT karena menghargai nikmat yang diterima
atau mendapat hajat yang dicita. Janji ini wajib ditunaikan. Nazar mewajibkan atas diri sendiri
untuk melakukan sesuatu ibadah untuk Allah SWT yang asal hukumnya tidak wajib.Sesuatu nazar yang berbentuk
ibadah yang asalnya sunat akan menjadi wajib dengan bernazar untuk
melakukannya. Contohnya, anda bernazar untuk puasa hari Isnin dan hari Khamis
selama sebulan. Sedangkan hukum asal Isnin dan Khamis adalah sunat, namun
dengan bernazar berubah menjadi wajib.
Orang bernazar dengan maksud berbeda-beda.
Umumnya, sih, karena sangat ingin doanya terkabul. Sebetulnya, adakah ‘dasar
hukum’ dalam bernazar? Ataukah hanya suatu kebiasaan yang pada akhirnya telah
menjadi budaya.
Menurut
saya salah satu faktor seseorang melakukan nazar karena orang tersebut
mempunyai cita-cita namun tidak pernah terwujud sekali ia meminta ia pun
mengucapkan nazar agar apa yang dia inginkan tercapai.
Contohnya
Lulus SMA, ia ingin
berkuliah di Jurusan Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Brawijaya. Ia pun bernazar, akan minum 10
gelas jamu hitam yang superpahit di depan keluarga.saat ap
yang dicita-citakan itu terkabul ia harus membayar nazarnya yaitu meminum 10
gelas jamu hitam.
C.”GUNUNG KAWI”
Kronologi
sejarah wisata ritual Gunung Kawi dimulai pada tahun 1830, setelah Pangeran
Diponegoro menyerah pada Belanda. Banyak pengikutnya dan pendukungnya yang
melarikan diri ke arah bagian timur pulau Jawa yaitu Jawa Timur. Di antaranya
selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau
Kyai Zakaria. Beliau pergi ke berbagai daerah di antaranya Pati, Begelen,
Tuban, lalu pergi ke arah Timur Selatan (Tenggara) ke daerah Malang yaitu
Kepanjen.
Pengambaranya
mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, Desa Sanan,
Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di Dusun
Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh Desa Sanan
bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam di dusun Djoego Desa Sanan beberapa
tahun antara dekade tahun 1840-1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga
putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M.
Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran
Diponegoro yang ikut melarikan diri ke daerah timur pulau jawa yaitu Jawa
Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga
sebagai ayah angkat di daerah Kesamben, Kabupaten Blitar tepatnya didusun
Djoego Desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, kemudian
R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam
mengelola Padepokan Djoego.
Pada
waktu itu Padepokan Djoego telah berkembang, banyak pengunjung menjadi murid
Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian ± tahun 1850-1860, datanglah
murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan.
Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan
Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng
sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi. Kanjeng Eyang
Djoego berpesan bahwa di tempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan
(dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa
yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).
Disaat orang banyak disibukkan dengan kesulitan ekonomi, kadang semua
cara digunakan termasuk diantaranya adalah ritual pesugihan.
Ada yang
mencari uang dengan bisnis
internet, namun
karena tidak sedahsyat denga pesugihan maka bagi orang yang malas akhirnya
lebih memilih pesugihan. Mitos
Pesugihan Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan
(pesugihan).
Konon,
barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan pengharapan yang
tinggi maka akan terkabul permintaannya, terutama menyangkut masalah kekayaan.
Mitos seputar pesugihan Gunung kawi ini diyakini banyak orang, terutama oleh
mereka yang sudah merasakan "berkah" berziarah ke Gunung Kawi. Namun
bagi kalangan rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.
Biasanya
lonjakan pengunjung yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi (hari pemakaman Eyang Jugo) dan
tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan
dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam,
berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam
bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta
disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini
menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain
pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat
lain yang dikunjungi karena 'dikeramatkan' dan dipercaya mempunyai kekuatan
magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:
1. Rumah
Padepokan Eyang Sujo
Rumah
padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang
bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang
dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang
berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.
2. Guci
Kuno
Dua buah
guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini
dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering
menyebutnya dengan nama 'janjam'. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping
kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan
membuat seseorang menjadi awet muda.
3. Pohon
Dewandaru
Di area
pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon
ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme
Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang
Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.
Untuk
mendapat 'simbol perantara kekayaan', para peziarah menunggu dahan, buah dan
daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk
memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar
uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun,
untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya
bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka
terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan
syukuran.
Siapakah
sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?
Yang
dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut
Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden
Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun
1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran
Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo
mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi ini.
Semenjak
itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi
mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara
Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran
moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan
serta ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya
mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak
masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka
untuk menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah
Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para
murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan,
pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan
peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam eninggalnya Eyang Jugo, dan juga
peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat
ini selalu diadakan erayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara
ini iasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan
Eyang Sujo.
Tidak
ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa bunga
sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah yakin,
semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak berkah yang akan
didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah bersikap seperti hendak
menghadap raja, mereka berjalan dengan lutut.
Hingga
dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan
dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal dari daerah Malang,
Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan lokasi pesarean, tetapi juga
dari berbagai penjuru tanah air. Heterogenitas pengunjung seperti ini
mengindikasikan bahwa sosok kedua tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan
populis.
Namun di sisi lain, motif para
pengunjung yang datang ke pesarean ini pun sangat beragam pula. Ada yang hanya
sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang
paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas
terkabul.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.DESAIN
PENELITIAN
Penelitian ini
menggunakan penelitian kualitiatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan
induktif. Proses dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
B.FOKUS
PENELITIAN
Penelitian ini fokus untuk memahami makna dari
“slametan sebagai Nazar dalam upacara ritual di Gunung Kawi”
C.SUBJEK
PENELITIAN
Pemilihan subjek
penelitian adalah Non random sampling, yang artinya peneliti sudah memiliki kriteria untuk menjadi subjek
penelitian yaitu para pemasak di dapur dan para pengunjung
Pesarean Gunung Kawi.
D.LOKASI
PENELITIAN
Lokasi penelitian
diadakan di Pesarean, Gunung Kawi Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Malang,
Kecamatan Wonosari, Desa Wonosari.
E.TEKNIK
PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan
data yang dilakukan adalah
1. Observasi penuh
Observasi
adalah
suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap
suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara
sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.
2. Wawancara secara tak berstruktur yang
wawancara ini ditujukan kepada subjek penelitian.
Menurut pengertiannya wawancara adalah
Tekhnik pengumpulan dataatau informasi dari “informan” dan atau “Responden”
yang sudah di tetapkan, di lakukandengan
cara ”Tanya jawab sepihak tetapi sistematis” atas dasar tujuan penelitian yanghendak
di capai.
F. TEKNIK ANALISA DATA
Teknik
analisa data yang digunakan adalah menggunakan studi kasus. Dimana kami akan
diberikan kertas kerja (work sheet) dan dikertas kerja tersebut sudah
dikategorisasikan (Coding)
BAB IV
PEMBAHASAN
Gunung Kawi adalah sebuah gunung berapi di Jawa Timur, Indonesia, dekat dengan Gunung Butak. Tidak ada catatan sejarah mengenai letusan gunung berapi ini.
Gunung Kawi, terletak di sebelah barat kota Malang merupakan obyek wisata yang perlu untuk dikunjungi bila kita berada di Jawa Timur karena keunikannya, obyek wisata ini lebih tepat dijuluki sebagai "kota di pegunungan". Di sini kita tidak akan menemukan suasana gunung yang sepi, tapi justru kita akan disuguhi sebuah pemandangan mirip di negeri tiongkok zaman dulu.
Sore itu tepat pukul 05.00 saya dan teman-teman tiba di desa Wonosari,desa tersebut Nampak ramai dengan pengunjung.sebagian besar pengunjung tesebut nampaknya bukan dari daerah yang dekat namun pengunjung tersebut berasal dari daerah yang jauh bahkan diluar pulau jawa.saya dan teman-teman sangat menikmati keramaian tersebut aktivitas ditempat itu ternyata sangat banyak menyimpan hal-hal yang jarang untuk saya jumpai.udara yang dingin ditemani keramaian yang bunyi khas gamelan jawa turut memeriahkan malam itu.sekilas saya melihat ada gadis-gadis cilik bersama ibu-ibu sedang menjajakan bunga di tepi jalan yang hanya searah itu.selain itu saya juga temukan penjual tikar,penjual bakso dan terdapat pusat pertokoan masyarakat tiong hoa.awalnya saya berpikir bahwa tempat tersebut sebenarnya adalah pasar malam yang sangat menyenangkan bahkan jauh dari anggapan saya bahwa tempat tersebut sangat kental dengan nuansa mistis yang menyeramkan. Sungguh sangat jauh berbeda. Tempat itu sangat jauh dari hiruk pikuk suasana malam di kota malang.
Setelah lelah berjalan-jalan saya lalu mampir kebeberapa tempat sekedar melepas capek saat berjalan dari jalan raya menuju ke atas saya duduk sampbil menikmati semangkuk mie ayam dan segelasss kopi pahit. Benar-benar nikmat. Setelah selesai makan saya melihat banyak teman-teman saya yang bergerombolan menuju ciamsi, dalam hati saya ingin tau apa itu ciamsi,sayapun ikut dengan mereka sampai disana saya melihat banyak orang-orang yang berebutan mengocok bamboo yang didalamnya terdapat lidi-lidi yang telah diberi label berupa angka.tidak ketinggalan sayapun ikut mengambil bagian dalam permainan tersebut saya mencoba mengocok dan keluarlah 1 lidi yang jatuh dilantai segera saya ambil dan memberikannya kepada seorang kakek yang nampaknya berasal dari keturunan tiong hoa sebagai balasan sang kakek lalu memberikan saya sepotong kertas yang teryata berisi peruntungan yang akan datang.sayapun terus berjalan-jalan hingga ke pesarean banyak orang-orang disekitar yang bergerombolan bahkan hingga tidur-tiduran,karena merasa capek sayapun kembali turun dan berjalan-jalan kembali kearanh datang tadi. Begitu saya melihat ke kiri ada sebuah loket yang sudah tersedia tulisan-tulisan harga makanan sayapun merasa penasaran.saya lalu masuk ketempat tersebut dan melihat-lihat ada beberapa orang ibu-ibu yang sedang memasak saya lalu menghampiri ibu tersebut “malam buk……malam juga dek …jawab sang ibu.buk’…saya boleh liad-liad gak,boleh dek silahkan….sambil tersenyum saya memperhatikan makanan yang ada di tenda-tenda tersebut…wah…buk kayaknya enak ni…..ehehehehehe…ibu lagi masak apa? Ibu tersebut menjawab ini dek lagi masak rending. Buk’selain rending daging yang lainnya ini mau dmasak apa lagi ya….? Ini buat masak sate juga dek.saya lalu menganggukan kepala saja yang berarti saya mengerti…buk….kenapa masaknya masih pake tungku kayu bakar kayak gini,knpa gak pake kompor aja..? gini dek,sebenarnya bisa kalo pake kompor tapi ini merupakan ritual jadi masaknya ya kayak gini,emang cara masak dulu ya seperti ini dek.oia buk ne smua dimasak untuk apa se buk? Ini dimasak untuk ritual slametan.slametan? aq agak kaget ia dek slametan itu dibuat bila ada pemesan,dan pemesan itu adalah mereka yang sudah terpenuhi apa yang mereka minta jadi kayak nazar gitu..o…. tak sampe disitu saja perbincangan saya dan sang ibu itu….masih banyak yang saya tanyakan. Dari apa yang saya dengarkan saya kemudian menganalisis sebagai berikut:
Banyak orang datang ketempat tersebut tenyata untuk berdoa menurut ajaran dan kepercayaan mereka masing-masing. Selain itu mereka juga mengikuti satu ritual yaitu ritual slametan.slametan merupakan syukuran menurut para pengunjung, slametan dibuat berdasarkan nazar seseorang. Dia datang ke pesarean dan berdoa meminta sesuatu yang menjadi tujuannya hidup didunia.pada saat ia meminta ia menyampaikan janji ato yang disebut nazar bahwa kalau keinginannya terkabul maka ia akan mengadakan slametan. Yang mana slametan tersebut yang dipesannya di dapur tersebut.jadi disini terdapat 2 hal menarik yaitu SLAMETAN dan NAZAR.yang mana ketiga-tiganya tersebut sangat errant kaitanya dengan kebudayaan masyarakat jawa dan kepercayaan seseorang terhadap makam atau pesarean tersebut.disini saya mengaitkan dengan beberapa teori yaitu teori kepercayaan atau religious Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut Robertson Smith (Kcentjaraningrat, 1990:68) memiliki fungsi sebagai aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai komunitas istimewa. Hal juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan kepercayaan adalah ritus atau upacara
Dalam pandangan Geertz (2000:170) religi adalah sebuah pengalaman unik yang bermakna, memuat identitas diri, dan kekuatan tertentu. Sebagai sebuah pengalaman, tentu saja religi tak akan lebih dari subyektivitas pelakunya. Dengan kata lain, religi akan berhubungan dengan rasa, tindakan, dan pengalaman nyata yang berbedabeda satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki perasaan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalankan religi masing-masing. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya religi sering dipengaruhi oleh hal ihwal di luar dirinya. Aktivitas politik, modernisasi, gender, dan perubahan dunia amat berpengaruh terhadap fenomena religi. Itulah sebabnya, kajian religi boleh sangat luas dan melebar sesuai keperluan.Para peziara datang Gunung Kawi memiliki tujuan yaitu untuk meminta perlindungan dan menyampaikan apa yang menjadi maksud kedatangan.mereka percaya bahwa makam Eang Djugo mampu untuk meneruskan apa yang menjadi permintaan mereka kepada Tuhan selain itu untuk menyampaikan rasa syukur mereka lalu mengadakan slametan yang awalnya menjadi nazar mereka apabila yang menjadi permintaan dapat terkabulkan.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pesarean yang berada di Gunung Kawi,
desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur merupakan satu
dari sekian banyak tempat wisata spiritual yang berada di Indonesia.namun tempat
ini tergolong unik karena banyak sekali pengunjung yang datang untuk melakukan
ibadah hingga berhari-hari.dan juga banyak pengunjung yang datang bukan hanya
dari pulau jawa melainkan diluar pulau jawa juga
Makna
slametan pada ritual digunung kawi teryata tdk jauh berbeda dari makna slametan
yang dikemukakan pada umumnya yaitu sebagai ucapan rasa syukur terhadap sesuatu
yang tellah dikabulkn oleh Yang Maha Kuasa dan wujud dari ucapan rasa syukur
tersebut yaitu berupa makanan-makanan yang diisi besek dan di bagikan kepada
orang-orang yang telah membayar diloket makan sesuai pesanannya.
Menurut teori
Dalam pandangan Geertz (2000:170)
religi adalah sebuah pengalaman unik yang bermakna, memuat identitas diri, dan
kekuatan tertentu. Sebagai sebuah pengalaman, tentu saja religi tak akan lebih
dari subyektivitas pelakunya. Dengan kata lain, religi akan berhubungan dengan
rasa, tindakan, dan pengalaman nyata yang berbedabeda satu dengan yang lain.
Setiap orang memiliki perasaan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalankan
religi masing-masing. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya religi sering
dipengaruhi oleh hal ihwal di luar dirinya. Aktivitas politik, modernisasi,
gender, dan perubahan dunia amat berpengaruh terhadap fenomena religi. Itulah
sebabnya, kajian religi boleh sangat luas dan melebar sesuai keperluan.jadi para
pengunjung sangat yakin bahwa kepercaan mereka terhadap makam sangatlah benar
adanya,yang tenyata mampu memgabulkan permintaan. Dan slametan juga merupakan
sebuah tindakan yang menunjukan semakin kuat rasa percaya kepada sang penghuni
makam tersebut.
B.KRITIK DAN
SARAN
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam laporan ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul laporan ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman dapai
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya laporan ini dan dan penulisan laporan di
kesempatan – kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/04/03/wisata-religi-gunung-kawi/
http://www.scribd.com/doc/6241515/Pasarean-Gunung-Kawi-Perubahan-Sosial-Budaya/
http://www.jogjatrip.com/id/encyclopedia/detail/1309/slametan/
Koentjaraningrat, 1988 Ilmu Antropologi.
Jakarta: Bhratara
http://www.jawapalace.org/;
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progressif.
http://www.jawapalace.org/;
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progressif.
http://www.docstoc.com/docs/27222096/KONSEP-DAN-TEORI-KEBUDAYAAN
No comments:
Post a Comment