Friday, June 22, 2012

EFEK POLA ASUH OTORITER TERHADAP KONDISI MENTAL ANAK


             LAPORAN HASIL OBSERVASI
         DI
           DESA BIRA TIMUR SOKOBANAH SAMPANG
           MADURA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Keluarga adalah tempat dimana seseorang hidup bersama orang-orang terdekat dan berbagi suka-duka bersama. Keluarga memungkinkan seseorang mempunyai kehidupan yang layak jika satu sama lain antar anggota keluarga bisa saling mengerti dan memahami, berbagi kasih sayang, saling percaya dan menjadi satu batang tubuh.
Keluarga adalah lingkungan pertama yang paling berperan dalam perkembangan anak. Anak berinteraksi dengan keluarganya (ibu, ayah, saudara kakak, adik, dan lain-lain) dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap seorang anak.
Akhir-akhir ini banyak bermunculan kasus-kasus kekerasan akibat pola asuh orangtua yang otoriter. Anak harus selalu mengikuti kemauan orangtua dan semua keputusan berada dibawah kuasa orangtua. Apabila anak tidak mengikuti aturan orangtua maka anak yang menjadi korban kekerasan. Anak akan menjadi korban kekerasan fisik dan psikis. Mental anak dipermainkan oleh orangtua apabila si anak sudah tidak bisa mengungkapkan keluh kesahnya. Anak menjadi tertekan, bahkan tak jarang ada yang sampai menjadi gila. Kekerasan fisik yang dimaksud adalah ketika si anak mencoba untuk menyampaikan keluhannya malah mendapat sambutan berupa pukulan dari orangtua karena si orangtua merasa telah ditentang dan anaknya dianggap membangkang. Padahal sebenarnya anak tersebut hanya ingin hidup normal dan sudah tidak kuat berada dalam kungkungan keluarga yang sama sekali tidak memberi kesempatan kepada dirinya untuk memberikan suatu keleluasaan.
Dalam mengembangkan anak untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan persiapan dan perlakuan terhadap anak secara tepat sesuai dengan kondisi anak. Sebagai manusia, setiap anak mempunyai ciri individual yang berbeda satu dengan yang lain. Di samping itu setiap anak yang lahir di dunia ini berhak hidup dan berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan kondisi yang dimilikinya. Untuk dapat memberi kesempatan berkembang bagi setiap anak diperlukan pola asuh yang tepat dari orangtuanya, hal ini mengingat anak adalah menjadi tanggung jawab orang tuanya baik secara fisik, psikis maupun sosial (Nuryoto, 1998).
Oleh karena itulah diperlukan adanya observasi ini untuk mengetahui secara jelas bagaimana anak yang tertindas dalam keluarganya sendiri dan efek yang ditimbulkannya.

B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah:
1.      Bagaimana pola asuh orang tua terhadap anak didalam keluarga?
2.      Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kekerasan terhadap anak?
3.      Bagaimana dampak kekerasan pada kondisi psikologi anak?

C.    TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui pola asuh orang tua terhadap anak di dalam keluarga
2.      Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak
3.      Mengetahui dampak kekerasan pada kondisi psikologi anak

D.    RUANG  LINGKUP
Dalam observasi yang diselenggarakan oleh kelompok kami adalah sebuah keluarga yang pola asuh orangtuanya  adalah otoriter. Kami mengobservasi tentang kesehariannya di rumah dan dampak terhadap psikologis si anak.

E.     PEMBATASAN MASALAH
Dari hasil perumusan masalah, maka yang kami batasi adalah:
1.      Faktor apa yang menyebabkan orangtua menerapkan pola asuh otoriter?
2.      Bagaimana kehidupan sehari-hari si anak dalam keluarga?
3.      Bagaimana si anak mengatasi problemnya dalam menghadapi berbagai tekanan?

F.     METODE PENELITIAN
Metode yang kami gunakan dalam observasi ini adalah:
1.      Observasi
2.      Tanya jawab/ wawancara
3.      Studi pustaka

G.    WAKTU PELAKSANAAN
Hari          : Sabtu
Tanggal    : 7 April 2012
Waktu      : 08.00 s/d selesai
Waktu
Kegiatan
…-06.00
Persiapan keberangkatan ke rumah observee di kabupaten Sampang Madura
06.15-08.00
Perjalanan menuju rumah observee
08.00-11.00
Observasi didekat rumah observee
11.00- 13.00
ISHOMA
13.05- 14.30
Wawancara
15.00- ……
Persiapan dan perjalanan pulang






BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Pola Asuh
Pengertian pola asuh dalam keluarga bisa ditelusuri dari pedoman yang dikeluarkan oleh Tim Penggerak PKK Pusat (1995), yakni; usaha orang tua dalam membina anak dan membimbing anak baik jiwa maupun raganya sejak lahir sampai dewasa.
Secara garis besar pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anaknya dapat digolongkan menjadi:
1.      Pola asuh otoriter
Yang dimaksud adalah setiap orangtua dalam mendidik anak megnharuskan setiap anak patuh tunduk terhadap setiap kehendak orangtua. Anak tidak diberi kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu yang menyangkut tentang tugas, kewajiban dan hak yang diberikan kepada dirinya. Biasanya anak yang mengalami pola asuh ini cenderung tidak bahagia dan merasa tertekan.
2.      Pola asuh demokratis
Yang dimaksud adalah sikap orangtua yang mau mendengarkan pendapat anaknya, kemudian dilakukan musyawarah antara pendapat orangtua dan pendapat anak lalu diambil suatu kesimpulan secara bersama, tanpa ada yang merasa terpaksa.
3.      Pola asuh permisif
Yang dimaksud adalah sikap orangtua dalam mendidik anak memberikan kebebasan secara mutlak kepada anak dalam bertindak tanpa ada pengarahan sehingga bagi anak yang perilakunya menyimpang akan menjadi anak yang tidak diterima di masyarakat karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan (Nuryoto, 1998).
B.     Keluarga
Setelah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Fungsi keluarga merupakan suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga. Masalah krisis keluarga dapat diduga muncul sebagai tidak berfungsinya tugas dan peranan keluarga. Secara sosiologis ( Melly dalam Busono, 2005 ), keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera. Fungsi keluarga perlu diamati sebagai tugas yang harus diperankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil.
     Lebih lanjut dijelaskan bahwa, berdasarkan pendekatan budaya dan sosiologis, fungsi keluarga adalah sebagai berikut :
1.    Fungsi Biologis
Bagi pasangan suami istri, fungsi ini untuk memenuhi kebutuhan seksual dan mendapatkan keturunan. Fungsi ini memberi kesempatan hidup bagi setiap anggotanya. Keluarga disini menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan dengan syarat-syarat tertentu.
2.    Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan, sehingga terdapat proses saling belajar di antara anggota keluarga. Dalam situasi ini orang tua menjadi pemegang peran utama dalam proses pembelajaran anak-anaknya, terutama di kala mereka belum dewasa. Kegiatannya antara lain melalui asuhan, bimbingan, dan teladan.
3.    Fungsi Beragama
Fungsi beragama berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua, sebagai seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.
4.    Fungsi Perlindungan
Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga.
5.    Fungsi Sosialisasi Anak
Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga pada gilirannya anak berpikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya.
6.    Fungsi Kasih Sayang
Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan status dan peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan kuat ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan, keakraban, kerjasama dalam menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.
7.    Fungsi Ekonomis
Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.
8.    Fungsi Rekreatif
Suasana Rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai, jauh dari ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan bebas dari kesibukan sehari-hari.
9.    Fungsi Status Keluarga
Fungsi ini dapat dicapai apabila keluarga telah menjalankan fungsinya yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar kedudukan (status) keluarga dibandingkan dengan keluarga lainnya.




BAB III
PEMBAHASAN

Sebagian masyarakat menganggap anak adalah kebanggaan orangtua, sehingga apabila dalam satu keluarga tidak terdapat seorang anakpun maka kehidupan dirasa hambar. Anak telah mengisi relung-relung hati orangtua didalam menjalani aktivitas sehari-hari. Keberadaan anak begitu diperhatikan sejak dulu sampai sekarang. Karena kasih sayang seorang ibu/ ayah terhadap anaknya maka mereka merasa bahwa anaknya adalah miliknya dan tak seorangpun dapat menyakitinya. Anak yang begitu disayang mulai dari bayi sampai bisa berjalan, berbicara dan sebagainya diharapkan menjadi anak yang baik dan penurut. Anak yang bisa dibanggakan oleh orangtua dan menjaga nama baik keluarga.
Namun seiring berjalannya waktu anak yang mengalami berbagai fase pertumbuhan dan perkembangan pastinya ingin melakukan sesuatu yang berbeda sesuai dengan masa yang dihadapainya. Anak yang baru memasuki masa remaja biasanya mengalami masa-masa dimana mereka merasakan hal-hal yang berbeda dari sebelumnya, seperti jatuh cinta dan mengenal lingkungan dengan lebih luas. Dan hal itu akan menjadi aneh jika anak tersebut tidak dapat menikmati itu semua disebabkan oleh berada dibawah kendali orangtua yang terlalu ketat dalam memberlakukan aturan (otoriter). Anak harus tetap berada dalam pengawasan orangtua dan tidak diberi kepercayaan untuk melakukan semuanya sendiri. Orang tua yang seperti itu selalu khawatir bahwa apa yang akan dilakukan anaknya akan memalukan keluarga dan selalu menganggap anaknya tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik. Atau orangtua merasa sangat menyayangi anaknya sehingga selalu khawatir anaknya mendapatkan masalah.
Semua kekhawatiran, kasih sayang dan aturan yang ada dalam keluarga memang perlu dalam  mengasuh anak, namun hal itu tidak perlu dilakukan secara berlebihan sehingga menekan si anak menjadi seperti yang diinginkan orangtua. Akibatnya si anak mengalami gangguan mental dan meenjadi orang yang tidak normal, lain dari anak yang lain karena cara hidupnyapun sudah lain.
Dalam hal ini biasanya ketika si anak mencoba menyampaikan aspiranya malah dianggap membantah orangtua, dianggap membangkang bahkan kadang dianggap telah dipengaruhi orang lain. Dan ketika orangtua dianggap telah dikhianati oleh anaknya sendiri maka biasanya orangtua tidak segan-segan untuk memakai kekerasan dalam memperingati si anak. Padahal itu tidak akan memecahkan masalah, bahkan yang ada dalah menimbulkan masalah baru.
Dibawah ini akan dibahas tentang keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter dalam mengasuh anak, baik itu kehidupan pribadi anak atau kehidupan sosial anak.

A.    Keluarga Ibu N
Ibu N, usia 39 tahun adalah seorang ibu rumah tangga disebuah rumah di desa Bira Timur, Sokobanah, Sampang, Madura. Sedangkan suaminya, S, usia 48 tahun merantau ke Jakarta. Jadi yang menjaga anak-anaknya di rumah hanya ibu N saja.
Ibu N mempunyai 4 orang anak. Anak pertama bernama Z sedang berumur 19 tahun, K berumur 16 tahun, B berumur 15 tahun dan yang terakhir A berumur 12 tahun. Anak-anaknya ini semuanya sedang berada di tingkat sekolah SD, SMP dan SMA, kecuali Z yang baru lulusan SMA. Z tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena masalah ekonomi, dia membantu mengajar di sebuah yayasan pendidikan didekat rumahnya dan hanya memperoleh bayaran 150.000,00 tiap bulan. Tentu saja itu hanya cukup untuk keperluannya sendiri dan tidak bisa membantu orangtuanya.
Selain mengajar, tidak ada hal lain yang dilakukan oleh Z kecuali dikamar dan membantu pekerjaan rumah sehari-hari. Ibu N tidak memperbolehkan Z keluar rumah, ke rumah tetangga sebelahpun dibatasi. Jika Z pergi ke rumah sebelah maka ibu N segera menyuruh anak keduanya, B untuk menjemput Z agar diam di rumah saja. Menurut ibu N buat apa dirumah orang, toh dirumah sendiri juga sama-sama diam saja. Namun menurut Z lain lagi, ketika di rumah sebelah dia merasa punya teman untuk bicara. Dia bisa bergaul dengan teman sebayanya dan bisa melakukan yang tidak bisa dia lakukan sendiri di rumah.
Z memang hanya ditugaskan untuk berdiam diri di rumah tanpa ada interaksi dengan yang lain. Ibu N tidak ingin anak perempuannya terlihat berkeliaran dirumah orang, maka dari itu dia ingin menjadikannya anak yang manis dan tidak menjadi buah bibir orang lain.
Justru malah sebaliknya, ketika Z sudah lulus SMA pada tahun 2011 lalu, ibu N ingin sekali anaknya bekerja, merantau seperti ayahnya. Karena kebutuhan yang terus meningkat dan biaya sekolah yang juga terus bertambah seiring dengan semakin bertambahnya usia adik-adik si Z. Z menolak permintaan ibunya karena bagi Z, di rumah, di Jakarta, atau di Surabaya itu sama saja, tidak ada yang mau memberi kepercayaan kepadanya untuk bisa bebas. Semua yang Z lakukan harus melalui keluarganya terlebih dahulu. Semua paman dan bibinya berdomisili di Jakarta dan telah menjadi orang sukses sehingga mereka menetap disana dan satu bibinya yang lain menetap di Surabaya. Z tidak ingin merantau jika terus berada dibawah bayang-bayang paman dan bibinya, karena paman dan bibinya juga tidak memberi kebebasan kepada Z. Z hanya ingin mandiri dan diberi kepercayaan.
Karena Z menolak kemauannya, ibu N sering mengeluh dan membicarakan si Z kepada tetangga-tetangganya bahwa Z selalu menentang keinginannya.
Masalah kepercayaan, Z tidak lagi diberi kepercayaan untuk keluar rumah karena sebelumnya dia berpacaran dengan orang yang tidak disukai oleh keluarga Z. Tentunya hal itu dilakukannya secara diam-diam, dan ketika keluarganya menegtahui, Z semakin menjadi anak yang harus mendapatkan penjagaan ketat. Jadi apapun yang akan dilakukan Z terus dikaitkan dengan kesalahannya yang pernah dia lakukan.
Suatu ketika Z pernah menyampaikan keputusannya untuk pergi merantau ke Surabaya tapi tidak ingin tinggal bersama bibinya, ia ingin ngekos, alasannya karena sudah tidak kuat dengan segala ocehan ibunya dan omongan ibunya kepada para tetangga, ibunyapun menyetujui.  Masalah kembali datang, dua hari sebelum keberangkatan Z, ibunya menerima telfon dari saudaranya di Jakarta agar melarang Z pergi. Alasannya, paman dan bibinya mengatakan bahwa Z tengah berencana kabur dengan pacarnya. Hal itu tidak diterima Z karena ibunya dinilai Z selalu berada dibawah kekuasaan saudaranya, selalu gampang dipengaruhi saudaranya dan tidak dapat membuat keputusan sendiri. Z yang selama ini tidak pernah melawan, selalu menahan apapun yang dia ingin ungkapkan menjadi tersulut amarahnya. Dia mengatakan bahwa dia telah menuruti kemauan keluarganya, minum air yang diperoleh ibunya dari dukun, memakan makanan yang diperoleh ibunya dari dukun, hal itu dilakukan keluarganya agar Z dapat melupakan si pacar, namun semua itu tidak ada hasil. Z juga mengatai ibunya yang sangat religius itu, buat apa shalat lima waktu, shalat  malam, ngaji tanpa menegnal waktu, tapi malah masih percaya pada dukun. Ibu N sangat terpukul mendengar anaknya mengatakan itu semua sehingga ibu N merasa kesabarannya hilang. Ibu N memukul Z dengan sebatang kayu, yaitu tongkat B untuk Pramuka, lalu mencekiknya. Untung saja tetangga sebelah segera datang dan langsung melerai mereka berdua.
Z sangat terpukul dan tidak menyangka hal itu terjadi, tapi dia juga tidak akan menyesal jika seandainya dia benar-benar dibunuh oleh ibunya sendiri karena dia telah merasa bahwa hidupnya telah berakhir sejak lama. Niat baiknya untuk membantu ekonomi keluarga malah di salah artikan oleh keluarganya.
Menurut tetangga-tetangganya ibu N memang sudah sangat keterlaluan kepada anaknya karena kesalahan yang diperbuat anaknya tidak perlu diperpanjang lebih jauh. Z sebelumnya sudah berani menerima hukuman apapun jika itu memang dianggap salah, maka dari itu Z tidak pernah memutuskan hubungannya dengan si pacar.
Dalam hal ini memang tergambar jelas bahwa pola asuh yang dipakai ibu N adalah otoriter karena ibu N memaksakan kehendaknya kepada anaknya sedangkan Z tidak diberi ruang untuk bernafas dan tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
Ketika kami mendatangi rumahnya, ibu N terlihat menyendiri dan kurang sehat. Dari sanalah kami mulai mewawancarai bu N. Ibu N mengatakan bahwa dia sangat ingin menyayangi anak-anaknya namun anaknya yang bernama Z sudah sangat keterlaluan.
Setelah hari ketika Z dipukul, ibu N menyuruhnya pergi kemana saja Z mau, dia melemparkan tas kearah Z dan menyuruhnya agar tidak pulang sebelum dia sukses. Karena Z merasa dibuang, Z pun pergi. Z pergi ke kosan temannya di Surabaya, tentu saja tanpa mengatakan kepada keluarganya kemana dia pergi. Karena ibu N khawatir dia mencari tahu tentang keberadaan anaknya, namun setelah tahu dan setelah berunding ke keluarganya di Jakarta, keluarganya malah memaksa Y agar segera mengantar Z pulang. Tidak hanya itu, keluarga ibu N juga menyalahkan keluarga Y dan dituduh menyembunyikan Z. Karena dituduh seperti itu keluarga Y berusaha mengalah dan menjemput Z ke tempat Y dan membawanya pulang.
Sejak saat itu ibu N kurang mendapat perhatian dari tetangganya, ibu N merasa tetangganya telah menjauhinya. Dan oleh sebab itu dia sangat merasa sedih.
Data hasil observasi terhadap aktivitas anak dalam menghadapi masalahnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

NB: Inisial diatas bukan nama sebenarnya.

Tabel 3.1
Lembar Observasi Terhadap Aktivitas Anak

No.

Aktivitas Anak
Skala Observasi
Keterangan
1
2
3
4
1.
Kecemasan dalam bersosialisasi



Takut dimarahi ibu, takut digosipi tetangga
2.
Ketertekanan batin



Ingin bunuh diri, ingin kabur dari rumah
3.
Kemauan untuk berpendapat



Ingin sekali berpendapat namun takut menimbulkan keributan
4.
Cara dalam menguasai emosi



Berdo’a, sadar bahwa bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah
5.
Cara menumpahkan emosi



Menangis
6.
Dalam mengikuti aturan orang tua



Hanya diam, menurut namun juga terpaksa

Ket:     Nilai 1 = kurang
            Nilai 2 = cukup
            Nilai 3 = tinggi
            Nilai 4 = sangat tinggi
           


BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari hasil observasi kami diatas tentang pola asuh otoriter dalam suatu keluarga, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, baik itu dalam segi pendidikan, ekonomi, sosial dan masa depan. Namun kadangkala para orangtua hanya mengikuti kemauannya sendiri, menganggap dirinya paling benar sehingga pendapat dan kemauan anak kurang didengarkan. Hal itu menyebabkan tekanan pada si anak dan menjadikan si anak mengalami gangguan mental.
2.      Pola asuh otoriter seringkali diartikan bahwa orangtua yang menerapkan pola asuh ini adalah tipe orangtua yang jahat, yang semena-mena dan tidak punya hati. Namun pola asuh otoriter ini ternyata juga diterapkan oleh orangtua yang sangat menyayangi anaknya, hanya saja si orangtua tidak bisa menempatkannya dengan baik. Terlalu mengekang dan terlalu khawatir terhadap anaknya.
B.     KRITIK DAN SARAN
1.      Kepada orangtua diharapakan tidak menerapkan pola asuh yang otoriter karena akan menyebabkan si anak mengalami gangguan mental.
2.      Pola asuh yang baik dalam keluarga adalah pola asuh demokratis
3.      Orangtua diharapkan memberi kesempatan kepada anaknya dalam mengemukakan pendapat.




DAFTAR PUSTAKA

Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda Karya
Nuryoto, Sartini. Pola Asuh Anak. (disampaikan dalam sarasehan “ Pola Asuh Anak yang Adil Gender ”,  24 Juli 1998 di Benteng Vredeberg. Yogyakarta.
Tim Penggerak PKK Pusat. 1995. Pola Asuh Anak dalam Keluarga : Pedoman bagi Orang Tua, Jakarta
Sugiyono, Prof. dr. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
           

No comments:

Post a Comment